Ultah Kota Padang dan Akhlak Warga Kota Print
Written by Administrator   
Monday, 06 August 2012 15:37

Kota Padang versi sejarah genap berusia 343 tahun pada 7 Agustus ini. Bagi sebuah daerah, usia akan dilihat dari kondisi daerah tersebut, terutama bagaimana wajah kota, tata ruang, sarana prasarana, tingkat kesejahteraan masyarakatnya, dan pelayanan publik yang diberikan pemerintah pada warganya. Pada akhirnya kematangan sebuah kota akan sendirinya menimbulkan kebanggaan bagi warganya. Bangga sebagai warga kota Padang, dan bangga memiliki KTP Padang.

 

 

 

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, “Padang” berarti suatu tanah yang datar dan luas, atau lapangan luas. Agaknya ini yang menginspirasi  lahirnya nama kota Padang. Secara to­pog­rafi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi bukit-bukit yang tidak begitu tinggi dan bermuara dua sungai yaitu Batang Kuranji dan Batang Arau.

 

 

 

Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada kerajaan di bawah pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Pa­­dang cuma dikenal sebagai kampung nelayan, orang menye­but­­nya Kampung Batung. Ketika itu Padang diperintah oleh Pe­ng­hulu Delapan Suku dengan sistem pemerintahan nagari.

 

 

 

Sekitar abad ke-15 dan 16, kerajaan Aceh dibawah pe­me­rin­tahan Iskandar Muda me­luas­kan wilayah kekuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat Mi­na­ng­ka­bau seperti Tiku, Pariaman, dan  Indrapura. Padang sebagai dae­rah pantai masa itu telah dising­ga­hi oleh pedagang–peda­gang dari daerah lain yang akan terus  ke Aceh. 

 

 

 

Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah yang dikuasai kerajaan Aceh mulai me­le­pas­kan diri, dan pada wak­tu ber­samaan di nusantara ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda,  dikenal dengan nama VOC (Verenigde Ost In­disehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera (pecah belah) dalam perluasan per­dagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul ketegangan masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh dipropaganda oleh VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat menghadapi Aceh.

 

 

 

VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan dijadikan pusat perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cing­ku­ak, dan Batang Arau lebih baik dijadikan sebagai daerah pela­buhan. Melalui penghulu ter­kemuka Padang yang ber­nama Orang Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama pada tahun 1667 di kota Padang. Inilah titik awal Padang tumbuh se-bagai sebuah kota. Belanda tidak saja meluaskan per­da­gangannya melalui VOC, tetapi mulai dapat memerintah mas­ya­rakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan per-dagangan Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah.

 

 

 

Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan rakyat karena Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan perlawanan. Puncaknya terjadi  7 Agustus 1669.

 

 

 

Dalam catatan sejarah, saat itu masyarakat Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara serta banyaknya Belanda yang dibu­nuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai tahun kela­hiran Kota Padang. Setiap ta­hun­nya diperingati sebagai hari jadi kota Padang, yang tahun ini sudah berusia 343.

 

***

 

Di usia 343 ini, Padang ma­sih dihadapkan dengan berbagai persoalan perkotaan. Layaknya persoalan yang dihadapi kota kota lain baik di Sumatera Barat, Indonesia maupun di dunia. Hanya saja jenis persoalan, cara penyelesaian, dan gaya kepe­mim­pinan yang membuat per­soa­lan itu terlihat berbeda. Padang yang tengah berbenah diri menjadi kota industri, kota per­dagangan dan kota pari­wi­sata harus dihadapkan dengan per­soalan persoalan besar yang tak kalah dari kota kota besar lainnya di dunia.

 

 

 

Plus minus Padang dari sisi geografis dan kekayaan alamnya menjadi tantangan bagi walikota dalam memimpin peme­rin­tahan. Dari periode ke periode di setiap tampuk kepemimpinan seorang walikota, fokus per­soalan yang dihadapi jelas ber­beda, irama kepemimpinan pun berbeda sesuai zaman dan tan­tangan yang dihadapi saat itu. Namun yang jelas, setiap era kepemimpinan tersebut, selalu ada program fundamental yang direalisasikan. Biasanya program itu dikenang setelah wali­kota yang bersangkutan habis jabatan atas sudah meni­nggal dunia.

 

 

 

Dalam catatan sejarah sete­lah kemerdekaan diprok­la­mir­kan, Padang sebagai sebuah wilayah tetap setia bera­da di bawah pemerintahan RI. Wali­kota pertama adalah, Mr Abu­bakar Ja’ar (1945—1946), men­jabat beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera Timur. Selanjutnya Padang dipimpin Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal se­bagai Walikota Pejuang. Be­liau gugur  17 Juli 1947 di tangan penjajah Belanda. 

 

 

 

Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda melakukan ag­resi I, akibatnya secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang dipindahkan ke Pa­dang­panjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Peme­rin­ta­han Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya adalah Dr A Hakim (1947—1949) dan memerintah tidak terlalu lama. Setelah pemulihan ke­daulatan RI tahun 1949 Pa­dang dipimpin oleh  Dr Rasyid­din sebagai walikota yang ke lima (1949-1956 )

 

 

 

Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950 No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu dae­rah otonom dengan walikota keenam (1956—1958). Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh ZA StPangeran sebagai walikota ke tujuh. Beri­kutnya walikota Padang adalah Drs Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh Drs Achirul Yahya.

 

 

 

Keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pe­me­rintah di daerah, kota Padang di samping daerah otonom, juga merupakan wilayah administratif  dikepalai oleh seorang wali­kota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke sepuluh adalah Drs Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai de­ngan PP No. 17 Tahun 1980 Pa­dang diperluas menjadi 694,9­6 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193 kelurahan.

 

 

 

Setelah Drs Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota Pa­dang, maka diangkatlah Syahrul Ujud SH sebagai Walikota kese­belas dengan kepemimpinannya selama sepuluh tahun (1983—1993). Berakhirnya ke­pe­mim­pinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet diserahkan kepada Drs Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan Walikota Pa­dang ke dua belas. Sejak 2003 sam­pai sekarang, dua kali perio­de, Padang dipimpin Dr Fauzi Bahar, MSi, sebagai walikota ke-13 dan ke-14.

 

***

 

Fauzi Bahar menjadi wa­likota yang sejak ke­pe­mim­pinannya masa-masa kebebasan demokrasi. Demonstrasi dari berbagai pihak tak asing bagi putra Koto Tangah yang ber­darah militer ini. Beruntung sejak dilantik sebagai pemimpin sipil, secara berangsur angsur darah militernya mulai ber­kurang. Di satu sisi dalam hal ge­rak cepat, naluri militer masih melekat dalam dirinya. Tetapi dalam menangani persoalan kemasyarakatan, garis ko­man­donya bukan lagi komando militer. Namun tak jarang ke­bija­kan kebijakannya disambut kontroversi.

 

 

 

Memberantas togel secara besar besaran di Padang sempat membuahkan hasil. Permainan judi tersebut sempat nyaris habis dari Kota Padang meski bela­kangan kembali tumbuh. Bisa saja rentetan musibah yang menimpa kota Padang men­yebabkan kosentrasi dan fokus kerja seorang walikota terbagi di usia 343 tahun ini. Sebab bukan hanya ancaman gempa dan tsunami yang menjadi kegalauan warga Padang, bencana bentuk lain seperti galodo dan longsor selalu mengintai dan membuat Pemko berjibaku me­ng­antisi­pasi dan menanganinya.

 

 

 

Bergairahnya program hafa­lan jus amma (ayat ayat pendek), pesantren ramadhan dan ban­g­kitnya kegiatan majelis ta’lim merupakan buah program yang dicanangkan Fauzi Bahar, meski ada yang menilai program terse­but cukup menjadi program di kementrian agama. Justru pe­mikiran lain melatarbelakangi program tersebut, setidaknya mempersiapkan generasi muda yang agamis. Maklum, sebelum masuk dunia militer, Fauzi ditepa di dunia pendidik/guru.

 

 

 

Terobosan yang dilakukan walikota Padang, termasuk me­nge­but pembangunan fisik beru­pa sarana prasarana bukanlah hal yang gampang. Ia me­me­rin­tah bukan di era Syahrul Ujud sebagai walikota, atau Azwar Anas sebagai gubernur Sumbar. Era itu persoalan tanah tak pernah jadi penghalang pem­bangunan untuk umum. Kini, sejengkal tanah dan sebatang pohon sangat berharga nilainya, dan hampir setiap orang yang memiliki menuntut hak ter­sebut. Realistis atau tidak tun­tutan itu, yang terpenting warga memprotes dan bahkan berani bertarung di ranah hukum.

 

 

 

Memerintah hampir satu juta orang bukanlah hal yang mudah. Upaya walikota Fauzi Bahar hingga periode kedua pemerintahannya dalam pem­bentukan akhlak perlu dilan­jut­kan, karena membentuk akhlak bukanlah pekerjaan yang instant. Di sisi lain, Pemko Padang harus tetap membuka diri dan introspeksi atas pelaksanaan program selama ini.

 

 

 

Gaya kepemimpinan ala pendidikan, Tut Wuri Han­dayani (di depan sebagai contoh) yang dipraktekkan selama ini perlu kombinasi dengan ing ngarso sungtulodo (mem­beri­kan dorongan dari belakang), dan ing madyo mangunkarso (sama sama terjun). Pemimpin atau walikota harus terus mem­berikan keteladanan, lalu di­du­kung dan dikelilingi oleh orang orang atau pejabat yang punya akhlak baik pula. Fauzi Bahar bukanlah superman atau super­boy, Ia juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan ke­ke­liruan. Sebelum terlanjur ber­tin­dak atas kebijakan yang dibuat, staf atau pembantu terdekat hendaknya berani mem­­beri masukan yang riil.

 

 

Kurun waktu pemerinta­han Fauzi Bahar sebagai wali­kota yang tersisa harus diman­fa­atkannya dengan baik. Sem­boyan “Padang Kota Tercinta, Kujaga dan Kubela” jangan hanya di atas kertas atau bali­ho. Tapi masuk ke hati masya­rakat kota Padang, yang bang­ga se­bagai warga kota Padang.

Sumber : Padang Ekspres

Last Updated on Friday, 17 August 2012 16:21