Skip to Content
Loading...
Admin
Admin
Online
Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Sahabat Ahlul Qur'an yang dirahmati Allah, sampaikanlah pertanyaan antum!

Khutbah Idul Adha: Mengukuhkan Ketakwaan Melalui Pengorbanan Sejati


 Oleh: M. Zuhri, S.I.Q., M. Pd

Dosen STAI-PIQ Sumatera Barat

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

الله أكبر! الله أكبر! الله أكبر

الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، وسبحان الله بكرة وأصيلا

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله

أما بعد

الحمد لله الذي شرع لنا الأضحية، وجعلها من شعائر الدين، وجعل فيها الأجر العظيم لمن اتقى وأحسن. الحمد لله الذي جعل في قصة إبراهيم وإسماعيل عبرة لأولي الألباب، ونورًا للمؤمنين في دروب التضحية والإخلاص.

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، صلوات ربي وسلامه عليه، وعلى آله وصحبه أجمعين، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.

أُوصِيْكُمْ عِبَادَ اللهِ وَنَفْسِيَ الخَاطِئَةَ بِتَقْوَى اللهِ، فَاتَّقُوهُ حَقَّ التَّقْوَى، وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.

 

Hadirin Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah, 

Suara takbir menggema, menggetarkan jiwa, mengingatkan kita pada puncak ketaatan: Pengorbanan Sejati. Hari ini, kita bukan hanya memperingati, tapi menghidupkan ruh perjalanan agung Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya. 

Allah berfirman dalam Surat As-Saffat ayat 102-107:  

 

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ 

فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ 

وَنَـٰدَيْنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبْرَٰهِيمُ 

قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ 

إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَـٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ 

وَفَدَيْنَـٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍۢ 

"Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!' Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'... Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar."

Ujian Bertingkat, Iman yang Tak Terkikis

Bayangkan lembah Mina yang gersang: panas terik membakar kulit, hamparan batu cadas membentang tanpa ampun, tiada tetumbuhan yang memberi teduh. Di tengah keganasan alam itu, tergambar sosok agung Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, berdiri gemetar bukan karena terik matahari, tetapi karena beban ujian yang menghunjam kalbu. Di hadapannya, terbaring Ismail—buah hati yang dinanti puluhan tahun, darah dagingnya sendiri—dengan mata tertutup kain. Bukan kebengisan yang menggerakkan tangan sang ayah mengikat penglihatan sang anak, melainkan gelegar kepasrahan total pada Sang Maha Pemilik Jiwa. Renungkanlah perjalanan panjang Ibrahim: diusir dari tanah kelahiran, dilemparkan ke bara api Namrud, hingga kini dihadapkan pada ujian paling dahsyat: mengorbankan cahaya matanya. Namun, lihatlah keajaiban Ilahi! Saat pisau kesetiaan hampir menyentuh leher Ismail, langit tiba-tiba berseru: "Cukup!" Allah sama sekali tak menghendaki tetesan darah manusia. Yang Dia rindukan adalah cahaya ketulusan yang memancar dari relung hati terdalam bapak dan anak itu—seperti emas murni yang tersembul dari batu keras setelah ditempa bertahun-tahun. Di titik inilah hakikat takwa terpahat abadi: ketaatan yang menyala-nyala tanpa sisa keraguan, tanpa hitung-hitungan, tanpa bisikan "nanti" atau "bagaimana jika", ketika panggungan Ilahi bergetar memanggil nama hamba-Nya.

Qurban Kita di Zaman Serba Instan

Di tengah gemerlap layar gadget dan godaan kepuasan instan fast food, makna qurban kerap tereduksi menjadi ritual dangkal: sekadar transaksi ekonomi untuk mendapat daging, atau bahkan momentum pamer di media sosial dengan foto hewan ternak yang estetik. Padahal, di balik simbol pisau dan darah itu, tersembunyi revolusi spiritual yang mengguncang fondasi nafsu manusia! Hakikat qurban sesungguhnya adalah sekolah agung untuk membedah ketamakan diri—latihan memotong urat nadi keangkuhan kita yang selalu merintih: "Ini hartaku! Kuserahkan untuk siapa?". Ketika tangan kita mengeluarkan sekian juta rupiah untuk seekor domba atau lembu, itu bukan sekadar pembelian komoditas. Itulah ritual simbolik pelepasan cinta duniawi, di mana gumpalan uang di dompet—yang biasa kita peluk erat bagai nyawa kedua—dikorbankan demi sesuatu yang tak terlihat: keridhaan Ilahi. Lebih dahsyat lagi, saat daging itu kita bagikan kepada janda tua yang biasa makan asin, anak yatim yang matanya berbinja lapar, atau tetangga yang malu mengaku kesulitan—di situlah qurban berubah menjadi manifesto kemanusiaan. Setiap bungkusan daging yang kita antar adalah teriakan sakral: "Individualismu yang beku, kukalahkan dengan solidaritas!". Sabda Rasulullah bergema penuh makna:

"Tiada amal anak Adam di hari Nahr yang lebih dicintai Allah daripada mengalirkan darah qurban." (HR. Tirmidzi)
Mengapa disembelih lebih mulia daripada sedekah biasa? Sebab qurban adalah reka ulang dramatis ketundukan Ibrahim—di mana kita tak hanya memberi sedikit dari kelebihan, tapi mengorbankan sesuatu yang berharga. Ia adalah cermin yang memantulkan pertanyaan menggelisahkan: "Sudahkah kau sembelih egomu hari ini, atau jangan-jangan kau justru menyembah ritual itu sendiri?"

Hajar & Ismail; Keluarga Para Pejuang Ketakwaan

Ketika kita memahat ingatan tentang Idul Adha, jangan pernah melupakan dua pahlawan tak bersenjata yang terlupakan: Hajar dan Ismail. Bayangkan adegan yang menghancurkan hati itu: di lembah Makkah yang gersang—tempat tiada tetesan air, tiada jejak kehidupan—Ibrahim berjalan meninggalkan istri dan bayi yang dicintainya, hanya berbekat sekantong kurma dan kendi air. Saat Hajar mengejar seraya bertanya: "Wahai Ibrahim! Ke mana engkau pergi? Apakah ini perintah Allah?", dan saat jawaban "Ya" mengudara, lihatlah keajaiban sikap jiwa yang terlatih dalam ketakwaan! Tanpa tetes air mata protes, tanpa gugatan mengapa ia yang dikorbankan, Hajar hanya menarik napas dalam lalu berbisik keyakinan: "Kalau begitu, pergilah! Allah takkan membiarkan kami binasa." Dialog singkat ini adalah magnum opus pendidikan keluarga para nabi! Di gurun yang kejam itu, Hajar tak sekadar bertahan hidup—ia membangun peradaban iman dengan tiga senjata: telapak kaki yang berlari tujuh kali antara Shafa-Marwa mencari harapan, jari-jari yang mengais pasir dalam keputusasaan, dan hati yang tetap berdetak memercayai janji Ilahi. Maka dari rahim kesabarannya yang terkoyak-koyak, memancarlah Zamzam—mata air yang bukan hanya membasuh kerongkongan Ismail yang kehausan, tetapi menjadi simbol abadi: bahwa air kehidupan selalu menyembul di titik nadir kepasrahan. Dari kepasrahan Ismail—anak yang tumbuh dalam dekapan gurun dan gersangnya ujian—lahirlah ritual thawaf, sa'i, dan lempar jumrah yang kini menyatukan jutaan manusia dari segala penjuru bumi. Mereka adalah bukti abadi: pengorbanan yang ditanam dengan benih keikhlasan, akan berbuah menjadi pohon keberkahan yang akarnya menembus abad, dahannya menggapai langit peradaban.

Menyembelih "Ismail-Ismail" Modern

Di ruang kerja ber-AC, di balik gemerlap gawai dan derap karir yang memabukkan, bersembunyi "Ismail-Ismail" modern yang halus menjerat jiwa: karir gemilang yang menggerus waktu tahajud, gaji belasan digit yang membisikkan "Tak perlu berbagi—ini hasil keringatmu sendiri!", atau jabatan bergengsi yang membenarkan "Sedikit tipu-taktik demi kenaikan level". Idul Adha datang bagai pisau bedah Ilahi—mengajak kita tak sekadar menyembelih hewan ternak, tapi berani membawa "Ismail" personal kita ke altar pengorbanan. Altar itu bernama meja operasi kesadaran, tempat kita memotong kebiasaan buruk yang sudah menjadi daging-daging kemunafikan, menyembelih kesombongan yang menggelembung bagai tumor jiwa, lalu mengorbankan waktu-waktu berharga—yang biasa kita tebus untuk binge-watching atau scrolling tanpa ujung—untuk merajut kembali benang dialog dengan Al-Qur’an. Inilah jihad palingsubtil sekaligus paling dahsyat: perang melawan hawa nafsu yang bersarang di sel-sel kebiasaan sehari-hari—musuh yang tak tampak mata, tapi menghancurkan dari dalam bagai rayap di kayu! Ketahuilah: menyembelih seekor domba itu mudah; yang sulit adalah menguliti ketergantungan pada pujian manusia, memotong urat ketagihan akan validasi sosial, dan mengalirkan darah kebiasaan-kebiasaan mati yang kita sembah diam-diam.

Dari Mina ke Palestina, Roh Pengorbanan yang Menyala

Lihatlah dengan mata hatimu! Di balik asap mesiu yang menyelimuti Gaza, di tengah reruntuhan rumah-rumah yang hancur di Suriah Utara, atau di kamp pengungsian Rohingya yang lembab—berdiri para "Ibrahim Zaman Now" yang diuji dengan ujian paling pedih: kehilangan segalanya dalam sekejap mata. Mereka adalah ayah yang mengubur anaknya yang tersobek rudal, ibu yang memeluk bayi kelaparan dengan air susu yang telah kering, pemuda yang kakinya diamputasi tanpa bius. Tapi di tengah neraka duniawi itu, dengarlah gema takbir yang menggema dari puing-puing masjid! Lihatlah sujud-sujud panjang di antara debu reruntuhan! Inilah ketakwaan yang menyala-nyala di tengah angin puting-baling peperangan—iman yang tak goyah meski bumi berguncang. Idul Adha datang membawa pesan menggugah: pengorbanan seekor kambing atau sapi kita takkan bermakna jika darahnya tak sampai ke jantung derita mereka. Qurban bukan sekadar tradisi tahunan yang kita rayakan dengan hidangan mewah; ia adalah teriakan profetik untuk merobek selimut keegoan kita—panggilan suci agar tangan yang menyembelih hewan ternak, juga mengulurkan bantuan untuk menyembelih kelaparan di kamp pengungsian. Setiap bungkusan daging yang kita antarkan ke gubuk reyot tetangga kita, setiap rupiah yang kita alirkan untuk dapur umum Gaza, adalah doa tanpa kata yang lebih nyaring dari takbir: "Ya Rabb, jadikan ketakwaan kami senjata untuk meluluhlantakkan kezaliman di muka bumi ini!" 

Penutup

Idul Adha bukan sekadar tentang takbir yang menggema atau daging qurban yang dibagikan. Ia adalah panggilan suci yang menembus batas zaman, mengajak kita meneladani pengorbanan agung Nabi Ibrahim, keteguhan hati Hajar, dan kepasrahan total Ismail. Di tengah dunia yang serba instan, Idul Adha datang bukan hanya sebagai ritual tahunan, tapi sebagai cermin jujur untuk menilai seberapa dalam ketundukan kita kepada Allah.

Qurban sejati bukan hanya menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego, memotong nafsu, dan menguliti kesombongan yang menggerogoti jiwa. Ia adalah medan perang batin, tempat di mana kita mempertaruhkan dunia demi ridha-Nya. Di setiap tetes darah yang mengalir dari sembelihan, haruslah ada air mata keikhlasan dan tekad untuk hidup dalam ketaatan.

Dan ketika kita mengingat mereka yang kehilangan segalanya—di Gaza, Suriah, Rohingya—kita pun diingatkan bahwa pengorbanan kita belum seberapa. Maka mari jadikan Idul Adha ini bukan sekadar seremoni, tapi titik balik. Mari sembelih "Ismail-Ismail" modern kita—ambisi tanpa arah, kesibukan yang melalaikan, keengganan untuk peduli. Dan dari altar pengorbanan itulah, semoga mengalir Zamzam ketakwaan yang membasahi hati-hati yang mulai gersang.

Karena sejatinya, tak ada yang lebih indah dari hidup dalam pelukan pengorbanan yang tulus dan mati dalam pelukan cinta kepada-Nya.

Do’a

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَمَعُوا الْقَوْلَ فَاتَّبَعُوا أَحْسَنَهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هَذَا الْيَوْمِ الْمُبَارَكِ مِنَ الْمُتَقَبَّلِينَ، وَمِنَ الْمُغْفُورِ لَهُمْ، وَمِنَ الْمُعْتَقِينَ مِنَ النَّارِ. اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ قُرْبَانَنَا، وَاغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا، وَارْزُقْنَا الْإِخْلَاصَ فِي الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلَادَنَا آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً، وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.

Artinya:
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat lalu mengikutinya dengan sebaik-baiknya. Ya Allah, jadikan kami di hari yang mulia ini termasuk orang-orang yang diterima amalnya, diampuni dosanya, dan dibebaskan dari api neraka. Terimalah kurban kami, ampunilah dosa-dosa kami, perbaikilah keadaan kami, dan anugerahkanlah keikhlasan dalam ucapan dan perbuatan. Ya Allah, jadikan negeri kami aman tenteram, begitu pula seluruh negeri kaum Muslimin.

 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

Berbagi

Postingan Terkait

Posting Komentar

Konfirmasi Penutupan

Apakah anda yakin ingin menutup pemutaran video ini?