- Diposting oleh : M. Zuhri
- pada tanggal : Rabu, Juni 04, 2025
Oleh: M. Zuhri, S.I.Q., M. Pd
Dosen STAI-PIQ Sumatera Barat
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله أكبر! الله أكبر! الله أكبر!
الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا،
وسبحان الله بكرة وأصيلا.
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك
له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد:
الحمد لله الذي شرع لنا الأضحية، وجعلها
من شعائر الدين، وجعل فيها الأجر العظيم لمن اتقى وأحسن. الحمد لله الذي جعل في
قصة إبراهيم وإسماعيل عبرة لأولي الألباب، ونورًا للمؤمنين في دروب التضحية
والإخلاص.
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك
له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، صلوات ربي وسلامه عليه، وعلى آله وصحبه أجمعين،
ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.
أُوصِيْكُمْ عِبَادَ اللهِ وَنَفْسِيَ
الخَاطِئَةَ بِتَقْوَى اللهِ، فَاتَّقُوهُ حَقَّ التَّقْوَى، وَلاَ تَمُوتُنَّ
إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Hadirin Jamaah Idul Adha yang
dirahmati Allah,
Suara takbir menggema,
menggetarkan jiwa, mengingatkan kita pada puncak ketaatan: Pengorbanan Sejati.
Hari ini, kita bukan hanya memperingati, tapi menghidupkan ruh perjalanan agung
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya.
Allah berfirman dalam Surat As-Saffat ayat 102-107:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ
وَنَـٰدَيْنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبْرَٰهِيمُ
قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَـٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ
"Maka ketika anak itu sampai
(pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, 'Wahai anakku!
Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana
pendapatmu!' Dia (Ismail) menjawab, 'Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang
diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk
orang yang sabar.'... Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar."
Ujian Bertingkat, Iman yang Tak Terkikis
Bayangkan lembah Mina yang
gersang: panas terik membakar kulit, hamparan batu cadas membentang tanpa
ampun, tiada tetumbuhan yang memberi teduh. Di tengah keganasan alam itu,
tergambar sosok agung Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, berdiri gemetar bukan karena terik
matahari, tetapi karena beban ujian yang menghunjam kalbu. Di hadapannya,
terbaring Ismail—buah hati yang dinanti puluhan tahun, darah dagingnya
sendiri—dengan mata tertutup kain. Bukan kebengisan yang menggerakkan tangan
sang ayah mengikat penglihatan sang anak, melainkan gelegar kepasrahan
total pada Sang Maha Pemilik Jiwa. Renungkanlah perjalanan panjang
Ibrahim: diusir dari tanah kelahiran, dilemparkan ke bara api Namrud, hingga
kini dihadapkan pada ujian paling dahsyat: mengorbankan cahaya matanya.
Namun, lihatlah keajaiban Ilahi! Saat pisau kesetiaan hampir menyentuh leher
Ismail, langit tiba-tiba berseru: "Cukup!" Allah
sama sekali tak menghendaki tetesan darah manusia. Yang Dia rindukan
adalah cahaya ketulusan yang memancar dari relung hati terdalam bapak
dan anak itu—seperti emas murni yang tersembul dari batu keras setelah ditempa
bertahun-tahun. Di titik inilah hakikat takwa terpahat abadi: ketaatan
yang menyala-nyala tanpa sisa keraguan, tanpa hitung-hitungan, tanpa bisikan
"nanti" atau "bagaimana jika", ketika panggungan Ilahi
bergetar memanggil nama hamba-Nya.
Qurban Kita di Zaman Serba Instan
Di tengah gemerlap layar gadget dan
godaan kepuasan instan fast food, makna qurban kerap tereduksi
menjadi ritual dangkal: sekadar transaksi ekonomi untuk mendapat daging, atau
bahkan momentum pamer di media sosial dengan foto hewan ternak yang estetik.
Padahal, di balik simbol pisau dan darah itu, tersembunyi revolusi spiritual
yang mengguncang fondasi nafsu manusia! Hakikat qurban sesungguhnya
adalah sekolah agung untuk membedah ketamakan diri—latihan memotong urat
nadi keangkuhan kita yang selalu merintih: "Ini hartaku!
Kuserahkan untuk siapa?". Ketika tangan kita mengeluarkan sekian juta
rupiah untuk seekor domba atau lembu, itu bukan sekadar pembelian komoditas.
Itulah ritual simbolik pelepasan cinta duniawi, di mana gumpalan uang di
dompet—yang biasa kita peluk erat bagai nyawa kedua—dikorbankan demi sesuatu
yang tak terlihat: keridhaan Ilahi. Lebih dahsyat lagi, saat daging itu kita
bagikan kepada janda tua yang biasa makan asin, anak yatim yang matanya berbinja
lapar, atau tetangga yang malu mengaku kesulitan—di situlah qurban berubah
menjadi manifesto kemanusiaan. Setiap bungkusan daging yang kita antar
adalah teriakan sakral: "Individualismu yang beku, kukalahkan
dengan solidaritas!". Sabda Rasulullah ﷺ bergema penuh makna:
"Tiada amal anak Adam di
hari Nahr yang lebih dicintai Allah daripada mengalirkan darah qurban." (HR.
Tirmidzi)
Mengapa disembelih lebih mulia daripada sedekah biasa? Sebab qurban
adalah reka ulang dramatis ketundukan Ibrahim—di mana kita tak hanya
memberi sedikit dari kelebihan, tapi mengorbankan sesuatu
yang berharga. Ia adalah cermin yang memantulkan pertanyaan
menggelisahkan: "Sudahkah kau sembelih egomu hari ini, atau
jangan-jangan kau justru menyembah ritual itu sendiri?"
Hajar & Ismail; Keluarga Para Pejuang Ketakwaan
Ketika
kita memahat ingatan tentang Idul Adha, jangan pernah melupakan dua pahlawan
tak bersenjata yang terlupakan: Hajar dan Ismail. Bayangkan adegan yang
menghancurkan hati itu: di lembah Makkah yang gersang—tempat tiada tetesan air,
tiada jejak kehidupan—Ibrahim berjalan meninggalkan istri dan bayi yang
dicintainya, hanya berbekat sekantong kurma dan kendi air. Saat Hajar mengejar
seraya bertanya: "Wahai Ibrahim! Ke mana engkau pergi? Apakah ini
perintah Allah?", dan saat jawaban "Ya" mengudara,
lihatlah keajaiban sikap jiwa yang terlatih dalam ketakwaan! Tanpa tetes air
mata protes, tanpa gugatan mengapa ia yang dikorbankan, Hajar hanya menarik
napas dalam lalu berbisik keyakinan: "Kalau begitu, pergilah!
Allah takkan membiarkan kami binasa." Dialog singkat ini adalah
magnum opus pendidikan keluarga para nabi! Di gurun yang kejam itu, Hajar
tak sekadar bertahan hidup—ia membangun peradaban iman dengan tiga
senjata: telapak kaki yang berlari tujuh kali antara Shafa-Marwa
mencari harapan, jari-jari yang mengais pasir dalam keputusasaan, dan hati yang
tetap berdetak memercayai janji Ilahi. Maka dari rahim kesabarannya yang
terkoyak-koyak, memancarlah Zamzam—mata air yang bukan hanya membasuh
kerongkongan Ismail yang kehausan, tetapi menjadi simbol abadi: bahwa air
kehidupan selalu menyembul di titik nadir kepasrahan. Dari kepasrahan
Ismail—anak yang tumbuh dalam dekapan gurun dan gersangnya ujian—lahirlah
ritual thawaf, sa'i, dan lempar jumrah yang kini menyatukan jutaan manusia dari
segala penjuru bumi. Mereka adalah bukti abadi: pengorbanan yang ditanam
dengan benih keikhlasan, akan berbuah menjadi pohon keberkahan yang akarnya
menembus abad, dahannya menggapai langit peradaban.
Menyembelih "Ismail-Ismail" Modern
Di ruang kerja ber-AC, di balik
gemerlap gawai dan derap karir yang memabukkan, bersembunyi
"Ismail-Ismail" modern yang halus menjerat jiwa: karir gemilang
yang menggerus waktu tahajud, gaji belasan digit yang membisikkan "Tak
perlu berbagi—ini hasil keringatmu sendiri!", atau jabatan bergengsi
yang membenarkan "Sedikit tipu-taktik demi kenaikan level".
Idul Adha datang bagai pisau bedah Ilahi—mengajak kita tak sekadar menyembelih
hewan ternak, tapi berani membawa "Ismail" personal kita ke
altar pengorbanan. Altar itu bernama meja operasi kesadaran, tempat
kita memotong kebiasaan buruk yang sudah menjadi daging-daging kemunafikan,
menyembelih kesombongan yang menggelembung bagai tumor jiwa, lalu mengorbankan
waktu-waktu berharga—yang biasa kita tebus untuk binge-watching atau scrolling tanpa
ujung—untuk merajut kembali benang dialog dengan Al-Qur’an. Inilah jihad
palingsubtil sekaligus paling dahsyat: perang melawan hawa nafsu yang bersarang
di sel-sel kebiasaan sehari-hari—musuh yang tak tampak mata, tapi menghancurkan
dari dalam bagai rayap di kayu! Ketahuilah: menyembelih seekor domba itu mudah;
yang sulit adalah menguliti ketergantungan pada pujian manusia, memotong
urat ketagihan akan validasi sosial, dan mengalirkan darah kebiasaan-kebiasaan
mati yang kita sembah diam-diam.
Dari Mina ke Palestina, Roh Pengorbanan yang Menyala
Lihatlah dengan mata hatimu! Di
balik asap mesiu yang menyelimuti Gaza, di tengah reruntuhan rumah-rumah yang
hancur di Suriah Utara, atau di kamp pengungsian Rohingya yang lembab—berdiri
para "Ibrahim Zaman Now" yang diuji dengan ujian paling pedih: kehilangan
segalanya dalam sekejap mata. Mereka adalah ayah yang mengubur anaknya yang
tersobek rudal, ibu yang memeluk bayi kelaparan dengan air susu yang telah
kering, pemuda yang kakinya diamputasi tanpa bius. Tapi di tengah neraka
duniawi itu, dengarlah gema takbir yang menggema dari puing-puing masjid!
Lihatlah sujud-sujud panjang di antara debu reruntuhan! Inilah ketakwaan
yang menyala-nyala di tengah angin puting-baling peperangan—iman yang tak goyah
meski bumi berguncang. Idul Adha datang membawa pesan menggugah: pengorbanan
seekor kambing atau sapi kita takkan bermakna jika darahnya tak sampai ke
jantung derita mereka. Qurban bukan sekadar tradisi tahunan yang kita rayakan
dengan hidangan mewah; ia adalah teriakan profetik untuk merobek selimut
keegoan kita—panggilan suci agar tangan yang menyembelih hewan ternak, juga
mengulurkan bantuan untuk menyembelih kelaparan di kamp pengungsian. Setiap
bungkusan daging yang kita antarkan ke gubuk reyot tetangga kita, setiap rupiah
yang kita alirkan untuk dapur umum Gaza, adalah doa tanpa kata yang lebih
nyaring dari takbir: "Ya Rabb, jadikan ketakwaan kami senjata
untuk meluluhlantakkan kezaliman di muka bumi ini!"
Penutup
Idul Adha bukan sekadar tentang
takbir yang menggema atau daging qurban yang dibagikan. Ia adalah panggilan
suci yang menembus batas zaman, mengajak kita meneladani pengorbanan agung Nabi
Ibrahim, keteguhan hati Hajar, dan kepasrahan total Ismail. Di tengah dunia
yang serba instan, Idul Adha datang bukan hanya sebagai ritual tahunan, tapi
sebagai cermin jujur untuk menilai seberapa dalam ketundukan kita kepada Allah.
Qurban sejati bukan hanya
menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego, memotong nafsu, dan menguliti
kesombongan yang menggerogoti jiwa. Ia adalah medan perang batin, tempat di
mana kita mempertaruhkan dunia demi ridha-Nya. Di setiap tetes darah yang mengalir
dari sembelihan, haruslah ada air mata keikhlasan dan tekad untuk hidup dalam
ketaatan.
Dan ketika kita mengingat mereka
yang kehilangan segalanya—di Gaza, Suriah, Rohingya—kita pun diingatkan bahwa
pengorbanan kita belum seberapa. Maka mari jadikan Idul Adha ini bukan sekadar
seremoni, tapi titik balik. Mari sembelih "Ismail-Ismail" modern
kita—ambisi tanpa arah, kesibukan yang melalaikan, keengganan untuk peduli. Dan
dari altar pengorbanan itulah, semoga mengalir Zamzam ketakwaan yang membasahi
hati-hati yang mulai gersang.
Karena sejatinya, tak ada yang
lebih indah dari hidup dalam pelukan pengorbanan yang tulus dan mati dalam
pelukan cinta kepada-Nya.
Do’a
اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ
اسْتَمَعُوا الْقَوْلَ فَاتَّبَعُوا أَحْسَنَهُ، اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِي هَذَا
الْيَوْمِ الْمُبَارَكِ مِنَ الْمُتَقَبَّلِينَ، وَمِنَ الْمُغْفُورِ لَهُمْ،
وَمِنَ الْمُعْتَقِينَ مِنَ النَّارِ. اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ قُرْبَانَنَا،
وَاغْفِرْ ذُنُوبَنَا، وَأَصْلِحْ أَحْوَالَنَا، وَارْزُقْنَا الْإِخْلَاصَ فِي
الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ. اللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلَادَنَا آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً،
وَسَائِرَ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ.
Artinya:
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat lalu
mengikutinya dengan sebaik-baiknya. Ya Allah, jadikan kami di hari yang mulia
ini termasuk orang-orang yang diterima amalnya, diampuni dosanya, dan
dibebaskan dari api neraka. Terimalah kurban kami, ampunilah dosa-dosa kami,
perbaikilah keadaan kami, dan anugerahkanlah keikhlasan dalam ucapan dan
perbuatan. Ya Allah, jadikan negeri kami aman tenteram, begitu pula seluruh
negeri kaum Muslimin.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته